Persyaratan:
1. Peserta merupakan mahasiswa, pelajar SMA/Sederajat, SMP/Sederajat
2. Peserta wajib mengisi formulir pendaftaran sebagai tanda keikutsertaan,
3. Satu formulir mewakili 1 orang
4. Formulir dapat langsung di ambil di sekretariat UKM Pankreas, atau juga dapat langsung email ke : adypankreas@gmail.com dengan mencantumkan subject lomba baca puisi, kamu akan dapat reply format formulir yang harus di isi dan di kirim kembali ke email tersebut, atau dapat juga di kirim langsung ke sekretariat UKM Pankreas.
5. Peserta wajib membayar biaya Regristrasi, biaya Regristrasi lomba baca puisi sebesar Rp. 25.000 / Orang, pembayaran dapat dilakukan di sekretariat UKM Pankreas atau melalui transfer via rekening bank syariah mandiri, kantor cabang kas fakultas MIPA UI, a/n : UKM PANKREAS, No Rek : 1637018111
6. Formulir pendaftaran dan pembayaran/ bukti struk pembayaran via rekening di serahkan ke panitia paling lambat tanggal 14 April 2011
5. Peserta membawakan salah satu dari puisi wajib
6. Pada saat registrasi peserta wajib mencantumkan puisi wajib yang akan di bawakan saat acara dan mencantumkan puisi bebas (sesuai tema) yang akan dibawakan saat hari puncak (bila masuk 5 besar)
Puisi wajib:
NYANYIAN KEMERDEKAAN
Puisi Ahmadun Yosi Herfanda
hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
di antara pahit-manisnya isi dunia
akankah kaubiarkan aku duduk berduka
memandang saudaraku, bunda tercintaku
dipasung orang asing itu?
mulutnya yang kelu
tak mampu lagi menyebut namamu
Berabad-abad kau terlelap
Bagai laut kau kehilangan ombak
Burung-burung yang semula
Bebas dihutannya
Digiring ke sangkar-sangkar
Tak bebas mengucapkan kicaunya
Hanya kau yang ku pilih
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang ku pilih
Diantara pahit-manisnya isi dunia
Orang asing itu berabad-abad
Memujamu dingerinya
Namun di negriku
Mereka berikan belengu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantara
Bangkitlah semua dada yang terluka
-Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman tangan itu atas namaku
Kekuatan yang memancar dari genggaman itu –
Suaramu sayup diudara
Membangunkanku dari mimpi siang yang celaka
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kurterjang pintu-pintu terkunci itu
Dan mendobraknya atas namamu
Terlalu pengap
Udara yang tak tertiup
Dari rahimmu
Jantungku hamper tumpas
Karena racunnya
( matahari yang kita tunggu
Akhirnya bersinar juga
Di langit kita )
Sajak Pertemuan Mahasiswa
Oleh : W.S. Rendra
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan.
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya : “Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba. Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.
Dan esok hari matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana !
DI BAWAH KIBARAN BENDERA
Puisi Imam Budhi Santosa
Puisi Imam Budhi Santosa
Anak-anak khatulistiwa, matahari menggeliat di punggungnya
Berpacu kesegenap penjuru memburu suaka
Hingga ke dasar laut, selat, serta muara-paya,
Pada keasaman tanah gambut tergali harga diri
Menandingi tinggi tegaknya kayu balsa dan meranti menentramkan
Sejarah penindih nurani
Walau tak seramah anggukan bunga padi
Meski tak semudah meraba denyut jantung
Di dada kiri. Seperti birunya gunung
Ternyata lereng terjal sulit didaki
Anak-anak khatulistiwa, matahari tertegun di pundaknya
Adalah mimpi yang tak habis-habisnya menggarami luka
Perihnya berlipat selagi hidup ditafsirkan sandiwara
Adalah sia-sia pulau demi pulau membiarkan cuaca
Silih berganti menapakkan kaki
Sekadar mengikuti perputaran semesta
Sementara kita masih saja berdesakan
Di pinggir-pinggir kota. Bergantung pada sampah
Dan menjadi sampah. Terpasung menikmati lagu
Dan membantu. Sewaktu langit berubah mendung
Tega menjadikan tempurung rumah bagi anak cucu
Anak-anak khatulistiwa, bukan di jalanan tempatnya
Bukan rembulan yang memantulkan kedamaian
Di hati manusia. Bukan pualam
Yang memisahkan derajat para bangsawan
Dengan hamba sahaya. Di atas tanah kita
Tidak terdapat garis yang melintang
Mengiris dari selatan ke utara.
Aib dan tercela terdengar silang-sengketa
Menerobos keluar melalui pintu jendela
Malaikat siap mencatatnya sebagai dosa dunia
Bagi setiap manusia yang menyerah di buncang prahara
Anak-anak pemberani memilih sunyi
Hutan dan perbukitan yang mengantarkan jati diri
Anak-anak pengabdi memilih tiang penglari
Sebagai kiblat dimana harus menancapkan kaki
Anak-anak berbakti melatakkan beban duniawi
Di tangan kiri, yang kanan menaburkan kebenaran
Benih-benih suci fatwa Ilahi
Kalimah-kalimah Nabi, menggugah kehidupan
Sebuah kebangkitan indah pagi hari
Dari pembaringan yang menyesatkan
Dari peperangan yang menghancurkan
Dari kebodohan yang mabenamkan
Terhadap siapa kemerdekaan ini diwariskan
Sudah berulang kali terlampaui jurang lembah
Badai serta musibah. Kini sambil tertatih
Tangan-tangan kecil berlatih memegang dan meraih.
Bagi yang tersisih tak perlu di tangisi
Bunga dan buah tidak semuanya jadi
Tapi jangan biarkan ada yang kedinginan
Mencuri atau kelaparan di rumah sendiri
Mereka adalah tumbal sesaji. Timbunan batu kali
Harus terletak di bawah permukaan bumi
Menjadi akar tempat berpijaknya bangunan ini
Di bawah kibaran bendera, kicau burung
Salak anjing, beriring memasuki istana.
Serasi tanpa selisih, menghapus tumpang tindih
Semuanya ingin berlayar bukan berdalih
Biarpun hanya penggali tambang, pemikul keranjang
Kusir pedati atau pejalan kaki
Memandang kibaran bendera
Tubuh mereka menggigil
Jiwa mereka terpanggili
Mengacungkan jari
Ikut bernyanyi
: padamu Negeri
Berpacu kesegenap penjuru memburu suaka
Hingga ke dasar laut, selat, serta muara-paya,
Pada keasaman tanah gambut tergali harga diri
Menandingi tinggi tegaknya kayu balsa dan meranti menentramkan
Sejarah penindih nurani
Walau tak seramah anggukan bunga padi
Meski tak semudah meraba denyut jantung
Di dada kiri. Seperti birunya gunung
Ternyata lereng terjal sulit didaki
Anak-anak khatulistiwa, matahari tertegun di pundaknya
Adalah mimpi yang tak habis-habisnya menggarami luka
Perihnya berlipat selagi hidup ditafsirkan sandiwara
Adalah sia-sia pulau demi pulau membiarkan cuaca
Silih berganti menapakkan kaki
Sekadar mengikuti perputaran semesta
Sementara kita masih saja berdesakan
Di pinggir-pinggir kota. Bergantung pada sampah
Dan menjadi sampah. Terpasung menikmati lagu
Dan membantu. Sewaktu langit berubah mendung
Tega menjadikan tempurung rumah bagi anak cucu
Anak-anak khatulistiwa, bukan di jalanan tempatnya
Bukan rembulan yang memantulkan kedamaian
Di hati manusia. Bukan pualam
Yang memisahkan derajat para bangsawan
Dengan hamba sahaya. Di atas tanah kita
Tidak terdapat garis yang melintang
Mengiris dari selatan ke utara.
Aib dan tercela terdengar silang-sengketa
Menerobos keluar melalui pintu jendela
Malaikat siap mencatatnya sebagai dosa dunia
Bagi setiap manusia yang menyerah di buncang prahara
Anak-anak pemberani memilih sunyi
Hutan dan perbukitan yang mengantarkan jati diri
Anak-anak pengabdi memilih tiang penglari
Sebagai kiblat dimana harus menancapkan kaki
Anak-anak berbakti melatakkan beban duniawi
Di tangan kiri, yang kanan menaburkan kebenaran
Benih-benih suci fatwa Ilahi
Kalimah-kalimah Nabi, menggugah kehidupan
Sebuah kebangkitan indah pagi hari
Dari pembaringan yang menyesatkan
Dari peperangan yang menghancurkan
Dari kebodohan yang mabenamkan
Terhadap siapa kemerdekaan ini diwariskan
Sudah berulang kali terlampaui jurang lembah
Badai serta musibah. Kini sambil tertatih
Tangan-tangan kecil berlatih memegang dan meraih.
Bagi yang tersisih tak perlu di tangisi
Bunga dan buah tidak semuanya jadi
Tapi jangan biarkan ada yang kedinginan
Mencuri atau kelaparan di rumah sendiri
Mereka adalah tumbal sesaji. Timbunan batu kali
Harus terletak di bawah permukaan bumi
Menjadi akar tempat berpijaknya bangunan ini
Di bawah kibaran bendera, kicau burung
Salak anjing, beriring memasuki istana.
Serasi tanpa selisih, menghapus tumpang tindih
Semuanya ingin berlayar bukan berdalih
Biarpun hanya penggali tambang, pemikul keranjang
Kusir pedati atau pejalan kaki
Memandang kibaran bendera
Tubuh mereka menggigil
Jiwa mereka terpanggili
Mengacungkan jari
Ikut bernyanyi
: padamu Negeri
MEMBACA TANDA-TANDA
Puisi Taufiq Ismail
Puisi Taufiq Ismail
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
Dari tangan
Dan meluncur lewat sela sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya
Tak begitu jelas
Tapi kini kita mulai merindukannya
Kita saksikan udara
Abu-abu warbanya
Ita saksikan air danau
Yang semakin surut jadinya
Burung - burung kecil
Tak lagi berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam
Didesak asam arang
Dan karbon dioksida itu
Mengigilas paru- paru
Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
Air
Mata
Kita telah saksikan seribu tanda- tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu bamjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya
Mulai lepas dari tangan
Akan meluncur lewat sela sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya
Tak begitu jelas
Tapi kini kami
Mulai merindukannya
Dari tangan
Dan meluncur lewat sela sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya
Tak begitu jelas
Tapi kini kita mulai merindukannya
Kita saksikan udara
Abu-abu warbanya
Ita saksikan air danau
Yang semakin surut jadinya
Burung - burung kecil
Tak lagi berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam
Didesak asam arang
Dan karbon dioksida itu
Mengigilas paru- paru
Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
Air
Mata
Kita telah saksikan seribu tanda- tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu bamjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya
Mulai lepas dari tangan
Akan meluncur lewat sela sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya
Tak begitu jelas
Tapi kini kami
Mulai merindukannya
DIALOG BUKIT KAMBOJA
Puisi. D. Zawawi Imron
Inilah ziarah di tengah nisan nisan tengadahPuisi. D. Zawawi Imron
Di bukit serba kamboja matahari dan langit lelah
Seorang nenek, pandangnya tua memuat jarum cemburu
Menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu
“Aku anak almarhum “ , Jawabku dengan suara gelas jatuh
Pipi mkeriput itu menyimpan bekas sayatan waktu
“Lewat berpuluh kemarau telah kuberikan kubur didepan mu
Karena kuanggap kubur anakku”
Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar pada lembar bunga basah
“Anakku mati di medan laga, dahulu
Saat Bung Tomo mengippas bendera dengan takbir
Berita ini kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”
Jauh dilembah membias rasa syukur
Pada hijau lading sayur, karena laut bebas debur
“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana kemana
Tak ketemu. Tak ada yang tahu
Sedang aku ingin ziarah menyamaian terima kasih
Atas gugurnya : mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”
“ Tapi ayahku sepi Pahlawan
Tutur orang terdekat , saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”
“ Apa salahnya kalau sesekali
Kuur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kamboja yang berat gemuruh
Dendamku kepada musuh jadi luruh”
Sore berangkat ke dalam remang
KE kelopak kelelawar
“ Hormatku padamu, nenek ! karena engkau
Menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
Beri aku apa saja kata atau senjata !”
“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku Cuma meminta.
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu
Kelam mendesak kami berkisah. Di hati tidak
Anginpun tiba dari tenggara . Daun-daun dan bunga ilalang
Memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tidak jijik menyeka nanah
Pada anak-anak desa dibawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah malu.
Kriteria penilaian:
1. Penafsiran : Ketepatan penafsiran, jeda, tekanan
· 2. Penghayatan : Ketepatan/takaran rasa, totalitas emosi, dan ekspresi fisik
· 3. Vokal : penyajian secara lisan meliputi ; kenyaringan, kejelasan artikulasi, dan intonasi
· 4. Penampilan : Kostum, dan sikap (teknik membawakan diri di depan pemirsa), penyajian secara lisan, ekspresi fisik, wajah, anggota tubuh, keutuhan
6. Peserta akan tampil pada tanggal 2 – 3 Mei 2011. Diambil 5 finalist yang akan tampil pada hari puncak yaitu tanggal 6 Mei 2011.
Juara 1 : Uang Tunai Rp. 250.000, sertifikat
Juara 2 : uang Tunai Rp. 150.000, serifikat
Juara Favorit : Uang Tunai Rp. 100.000, sertifikat